Oleh: M Arafat Imam G (*)
RELATIF CEPAT, itulah proses transformasi pengelolaan keuangan negara Indonesia dibandingkan negara-negara maju. Semenjak bergulirnya paket Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003, tercatat hanya dalam kurun waktu 12 tahun, pada berbagai tingkatan Pemerintah di Indonesia sudah mengimplementasikan akuntansi basis akrual. Hal ini dikarenakan Pemerintah dapat langsung mengikuti international best practice dari Treasury Reference Model (TRM) atau Model Referensi Perbendaharaan dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan Pemerintah Indonesia, sehingga tidak perlu merasakan panjangnya proses trial and error yang dialami negara maju dikala awal mengimplementasikan model tersebut.
TRM menggarisbawahi pentingnya integrasi pengelolaan keuangan negara sebagai dasar bagi tata kelola dan akuntabilitas keuangan negara. Sebagai pondasi manajemen keuangan negara, Pemerintah Indonesia juga dapat langsung mengikuti model Integrated Financial Management Information System (IFMIS) yang merupakan international best practice paket pengelolaan keuangan negara yang terintegrasi dan terkomputerisasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. IFMIS terdiri dari beberapa unsur, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, hingga pertanggungjawaban keuangan negara.
Pada Pemerintah Pusat, pondasi implementasi IFMIS berupa Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) pada tiap Kementerian dan Lembaga Negara (K/L). Sedangkan pada tingkat Pemerintah Daerah, pondasi IFMIS tersebut terbagi menjadi 2 sistem aplikasi, yaitu berupa Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) yang dikembangkan oleh konsultan internasional dibawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pondasi-pondasi inilah yang menjadi landasan sistem dari proses bisnis pengelolaan keuangan negara/daerah yang akan menjadi fokus Pemerintah Pusat/Daerah hingga beberapa tahun kedepan dengan jangka waktu transformasi yang akan relatif singkat.
Dengan bergulirnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 910/1866/SJ tanggal 17 April 2017 tentang Implementasi Transaksi Non Tunai pada Pemerintah Daerah Provinsi (Kabupaten/Kota pada Surat Edaran Nomor 910/1867/SJ) menjadi salah satu tonggak baru dalam proses transformasi ini. Pada Surat Edaran itu mewajibkan pelaksanaan transaksi non tunai pada Pemda sebagai bagian dari manajemen pembayaran paling lambat 1 Januari 2018.
Pilar pertama, penyempurnaan proses bisnis dikembangkan melalui beberapa modul yang ada pada SPAN yaitu: 1) Perencanaan anggaran; 2) Manajemen DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran); 3) Manajemen Komitmen; 4) Manajemen Pembayaran; 5) Manajemen Kas; 6) Manajemen Penerimaan; 7) Buku Besar dan Bagan Akun Standar; dan 8) Pelaporan.
Salah satu proses bisnis yang akan penulis contohkan adalah manajemen pembayaran, yang memiliki peran sebagai gerbang utama pengeluaran pemerintah dalam rangka menunjang program pembangunan nasional. Manajemen Pembayaran akan memproses tagihan (dalam bentuk Resume Tagihan dan Surat Perintah Membayar) yang diajukan oleh Satuan Kerja dan melakukan proses pencairan dana dari Rekening Pengeluaran Pemerintah kepada pihak yang berhak melalui proses penerbitan SP2D/SPT.
Secara umum, penyempurnaan proses bisnis dalam manajemen pembayaran diarahkan untuk menciptakan proses penyelesaian dan pembayaran tagihan atas beban APBN yang cepat, aman, dan tetap berpegang kepada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel sehingga dapat mendukung penciptaan pelaksanaan anggaran yang efektif, efisien, dan optimal. Sebagai prasyarat agar hal tersebut dapat dicapai diperlukan hal-hal sebagai berikut:
Penyempurnaan proses bisnis merupakan dasar dari perubahan yang didukung oleh teknologi informasi (Pilar kedua) dalam wujud berupa aplikasi elektronik SPAN dan SAKTI. Meskipun merupakan aplikasi tersendiri tapi SAKTI pada dasarnya merupakan mini SPAN karena adanya prinsip mirror berupa kesesuaian antara aplikasi SAKTI dan SPAN yang bertujuan agar aplikasi SAKTI dan SPAN tidak mengalami kesulitan dalam transfer data antar aplikasi.
Selanjutnya, diperlukan perubahan pola pikir pengguna aplikasi yang didukung oleh adanya pelatihan penggunaan aplikasi kepada para penggunanya (Pilar ketiga). Pada international best practice, manajemen perubahan (change management) ini dapat berupa suatu bagian/departemen tersendiri didalam suatu instansi. Mereka berfungsi sebagai penggerak/motor utama perubahan ketika bagian/departemen lain fokus untuk menggerjakan tugas pokok dan fungsi utama dari instansi.
Pada Kemenkeu RI, manajemen perubahan ini dilaksanakan oleh Central Transformation Office (CTO) yang memiliki Program Transformasi Kelembagaan dan telah melaksanakan beberapa kegiatan diantaranya: 1) Roadshow Transformasi Kelembagaan; 2) Penetapan Duta Transformasi Kelembagaan; 3) Penyampaian BERAKSI; 4) Open Forum Internal; 5) Open Forum Stakeholder; dan 6) Bincang Transformasi serta Optimalisasi Media Sosial.
Dikarenakan peningkatan kapasitas SDM ini dilakukan pada ruang lingkup yang besar, yang terdiri dari 746 UKPD, 276 Kelurahan, 86 BLUD & 2.147 sekolah di DKI Jakarta, BPKD membuat grup-grup kecil yang diajarkan akuntansi & pengelolaan keuangan. Lalu masing-masing grup tadi kembali mengajarkannya lagi pada level-level dibawahnya hingga pada setiap level terkecilnya.
Melalui laporan sistem informasi yang terintegrasi diatas, akan menghasilkan Laporan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Harian. Jadi, posisi kas, pendapatan, belanja daerah dan aset dapat diketahui secara Real Time. Hal ini seperti yang selama ini telah dilakukan pada dunia perbankan, karena sama-sama menggunakan neraca basis akrual.
1) Tujuan Jangka Pendek:
Melalui Milestone tersebut diharapkan terwujud akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan dan aset dan secara sistemik akan: 1) Meningkatkan opini BPK menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); 2) Temuan pemeriksaan menurun; dan 3) Serapan anggaran lebih optimal.
Ada hal unik pada implementasi Milestone ini, yaitu dari awal penerapan SAP basis akrual, Gubernur DKI tidak langsung membebankan opini kepada BKPD, tapi meminta BPKD fokus pada tujuan agar posisi kas, pendapatan, belanja daerah dan aset diketahui secara real time. Sehingga tiap tahun BPKD bisa fokus pada penyempurnaan model IFMIS-nya.
Jadi, Gubernur DKI tidak mempermasalahkan saat LHP LKPD Pemprov DKI TA 2015 adalah WDP dengan pengecualian pada asetnya, tapi akan menjadi sensitif jika tidak ada perkembangan signifikan pada Milestone IFMIS-nya. Sedangkan opini WTP DKI baru ditargetkan pada tahun 2020.
E-komponen sudah menggunakan kode barang dan kode rekening sesuai Bagan Akun Standar (BAS) Permendagri Nomor 64 Tahun 2013. Sehingga maping akrual (karena terdapat perbedaan kode rekening kas dan kode rekening akrual) sudah terjadi sejak proses perencanaan. Ini diperlukan agar informasi keuangan pada proses pelaksanaannya bisa Real Time.
Pada tahap Pelaksanaannya, diterapkan transaksi non-cash, yaitu pada proses bisnis transaksi pendapatan dan belanja.
Pada transaksi Pendapatan, Pemprov DKI bekerja sama dengan 13 Bank dan 1 Non Bank. Pendapatan dimaksud berupa pembayaran/pemotongan langsung atas pajak dan retribusi daerah.
Contoh inovasi non cash pada penerimaan retribusi adalah dengan menerbitkan Kartu Jakarta One & Jakcard untuk akses wisata & beli cinderamata di beberapa obyek di Jakarta. Fungsi utamanya berupa: 1) Identifikasi profil pengguna; 2) Penyaluran Kebijakan Layanan Publik; dan 3) Pendukung Sistem Pembayaran.
Meskipun cashflow penerimaannya relatif kecil, tapi dianggap lebih praktis bagi Pemda & bagi pemilik kartunya. Adanya kartu itu juga mengamati perilaku masyarakat yang saat ini sudah banyak beralih ke uang plastik.
Pada transaksi Belanja, contoh inovasi non cash dilaksanakan dengan optimalisasi Uang Persediaan (UP) melalui mekanisme Revolving Fund. Penerapan uang persediaan (UP) lebih ketat, karena melalui transfer perbankan, sehingga mudah ditelusuri penggunaannya melalui Cash Management System (CMS).
Sejak pertama kali diimplementasikan UP Non Cash ini tidak bisa serta merta full non cash, tapi melalui beberapa tahap nominal tertentu, yaitu dimulai sejak terbitnya Ingub Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Transaksi Online (Transaksi Non Cash). Tahapannya sebagai berikut:
Agar transaksi non-cash dapat diterapkan pada transaksi penerimaan pajak sekaligus transaksi belanja pada hotel, rumah makan, Pertamina dll secara mudah, BPKD menawarkan kepada Bank yang bersedia membuatkan sistemnya, maka BPKD akan membuat kontrak kepada bank tersebut, sehingga pada setiap transaksi pada hotel dll itu akan diketahui oleh pihak bank dan diteruskan kepada BPKD DKI.
Hal ini turut mendukung informasi real time pada Pendapatan dan Belanja APBD DKI. Sebagai contoh sistem pajak berupa Online Payment System dikembangkan oleh BRI, jadi BRI tahu seluruh transaksi hotel, restaurant, Pertamina dll dan meneruskannya pada Dinas Pendapatan DKI, jadi transaksi itu bisa langsung dipotong pajaknya.
Pada tahap pelaporannya, Kepala Bidang Akuntansi BKPD menyatakan bidangnya merasa sangat terbantu dengan kehadiran seluruh penerapan model IFMIS diatas. Permasalahan umum yang timbul oleh sebab kesalahan pada tahap pelaksanaan yang menghambat dalam penyusunan Laporan Operasional dan Neraca, dapat banyak mengurangi pekerjaan dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Keuntungan lainnya adalah Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas Belanja daerah menjadi mudah dikarenakan memang sudah akuntabel by system. Sehingga pada setiap akhir tahun, tanggal 31 Desember, transaksi keuangan pada Bidang Perbendaharaan selesai tanpa perlu lembur yang menjadi fenomena umum setiap instansi Pemerintah. Apalagi faktanya di DKI Jakarta terdapat sekitar 2.600 transaksi tiap harinya.
Contoh lain, seperti yang dirasakan oleh masyarakat adalah jika sebelumnya pengadaan Pasukan kebersihan di DKI Jakarta yang berjumlah 90.000 orang melalui pihak ketiga dan setiap orang hanya menerima pendapatan bersih sekitar Rp 700 ribu/bulan, yaitu setelah melalui pemotongan oleh pihak ketiganya, maka sejak penerapan non cash, pasukan kebersihan dijadikan Pegawai Harian Lepas (PHL) langsung oleh Dinas Kebersihan DKI. Sejak saat itu setiap dari mereka bisa menerima sekitar Rp 3,5 juta/bulan dengan metode transfer langsung ke rekening tabungan mereka.
Terakhir, informasi real time posisi keuangan dan aset Daerah yang berasal dari Big Data SIPKD diintegrasi dengan aplikasi Jakarta Smartcity. Jadi informasi real time tersebut dapat diakses oleh manajemen internal, stakeholders, dan masyarakat umum melalui aplikasi Jakarta Smartcity.
Meskipun setiap Daerah pasti memiliki letak permasalahannya sendiri, tapi implementasi model IFMIS ini bukan hal yang sulit untuk ditempuh jika dilakukan usaha serius seperti: 1) Komitmen nyata dalam bentuk Peraturan/Instruksi Kepala Daerah; 2) Giat dalam melakukan kajian internal seputar pengelolaan keuangan daerah; dan 3) Mengikuti referensi dari best practice pada instansi lain.
Sebagaimana pada setiap aplikasi sistem pendukung pada SIPKD DKI Jakarta yang penulis sampaikan diatas, seperti e-komponen, e-UP/GU/TU dll, membutuhkan masing-masing kajian teknis sistemnya yang dikerjakan oleh para ahlinya. Hal ini bisa dilakukan oleh tim yang bertugas sebagai Change Management dan/atau mengontrak konsultan seperti yang dilakukan oleh Kemenkeu dan DKI Jakarta pada aplikasinya.
Pemprov DKI Jakarta juga membuka diri bagi Pemda lain yang ingin magang dan mempelajari lebih lanjut implementasi transaksi non tunainya. Sebagaimana surat Dirjen Bina Keuangan Daerah kepada Gubernur DKI Jakarta Nomor 080/1584/Keuda Tanggal 26 April 2017 tentang Permintaan Fasilitasi Magang Dalam Rangka Implementasi Transaksi Non Tunai pada Provinsi DKI Jakarta, sebanyak 70 Pemda tercatat berminat untuk mengajukan magang.
Jika suatu hari kelak model IFMIS pada Pempus dan Pemda sudah memenuhi kriteria minimalnya, maka bukan tidak mungkin informasi laporan keuangan dan aset pada seluruh instansi Pemerintah di Indonesia dapat diintegrasikan untuk menghasilkan Laporan Keuangan Republik Indonesia (LKRI) sesuai international best practice dari Treasury Reference Model.
Dedikasi pada kolaborasi dan inovasi langsung dari tiap lini pengelola keuangan daerah mendukung komitmen Pemerintah Daerah untuk mensukseskan model IFMIS-nya. Berbagai cara mudah hingga cara yang lebih kompleks dalam mendayagunakan SDM penatausahaan keuangan dan dukungan teknologi dapat kita lakukan untuk membuat Pengelolaan Keuangan Daerah lebih profesional dan akuntabel.
Pada Pemerintah Pusat, pondasi implementasi IFMIS berupa Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (SAKTI) pada tiap Kementerian dan Lembaga Negara (K/L). Sedangkan pada tingkat Pemerintah Daerah, pondasi IFMIS tersebut terbagi menjadi 2 sistem aplikasi, yaitu berupa Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang dikembangkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) yang dikembangkan oleh konsultan internasional dibawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Pondasi-pondasi inilah yang menjadi landasan sistem dari proses bisnis pengelolaan keuangan negara/daerah yang akan menjadi fokus Pemerintah Pusat/Daerah hingga beberapa tahun kedepan dengan jangka waktu transformasi yang akan relatif singkat.
Dengan bergulirnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 910/1866/SJ tanggal 17 April 2017 tentang Implementasi Transaksi Non Tunai pada Pemerintah Daerah Provinsi (Kabupaten/Kota pada Surat Edaran Nomor 910/1867/SJ) menjadi salah satu tonggak baru dalam proses transformasi ini. Pada Surat Edaran itu mewajibkan pelaksanaan transaksi non tunai pada Pemda sebagai bagian dari manajemen pembayaran paling lambat 1 Januari 2018.
Implementasi IFMIS pada Best Practice Pemerintah Pusat
Implementasi SPAN yang merupakan bagian dari Program Reformasi Pengganggaran dan Perbendaharaan dalam lingkup Kementerian Keuangan dilaksanakan melalui tiga pilar, yaitu: 1) Penyempurnaan proses bisnis; 2) Dukungan teknologi informasi; dan 3) Manajemen komunikasi dan perubahan.Pilar pertama, penyempurnaan proses bisnis dikembangkan melalui beberapa modul yang ada pada SPAN yaitu: 1) Perencanaan anggaran; 2) Manajemen DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran); 3) Manajemen Komitmen; 4) Manajemen Pembayaran; 5) Manajemen Kas; 6) Manajemen Penerimaan; 7) Buku Besar dan Bagan Akun Standar; dan 8) Pelaporan.
Salah satu proses bisnis yang akan penulis contohkan adalah manajemen pembayaran, yang memiliki peran sebagai gerbang utama pengeluaran pemerintah dalam rangka menunjang program pembangunan nasional. Manajemen Pembayaran akan memproses tagihan (dalam bentuk Resume Tagihan dan Surat Perintah Membayar) yang diajukan oleh Satuan Kerja dan melakukan proses pencairan dana dari Rekening Pengeluaran Pemerintah kepada pihak yang berhak melalui proses penerbitan SP2D/SPT.
Secara umum, penyempurnaan proses bisnis dalam manajemen pembayaran diarahkan untuk menciptakan proses penyelesaian dan pembayaran tagihan atas beban APBN yang cepat, aman, dan tetap berpegang kepada kaidah-kaidah pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel sehingga dapat mendukung penciptaan pelaksanaan anggaran yang efektif, efisien, dan optimal. Sebagai prasyarat agar hal tersebut dapat dicapai diperlukan hal-hal sebagai berikut:
- Integrasi data pembayaran dengan data yang dihasilkan oleh modul SPAN lainnya;
- Penerapan accrual accounting dalam manajemen pembayaran;
- Otomatisasi sistem dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk meminimalkan pemrosesan secara manual;
- Perluasan penggunaan dokumen elektronik (e-document) sekaligus minimalisasi hardcopy dalam manajemen pembayaran.
Penyempurnaan proses bisnis merupakan dasar dari perubahan yang didukung oleh teknologi informasi (Pilar kedua) dalam wujud berupa aplikasi elektronik SPAN dan SAKTI. Meskipun merupakan aplikasi tersendiri tapi SAKTI pada dasarnya merupakan mini SPAN karena adanya prinsip mirror berupa kesesuaian antara aplikasi SAKTI dan SPAN yang bertujuan agar aplikasi SAKTI dan SPAN tidak mengalami kesulitan dalam transfer data antar aplikasi.
Selanjutnya, diperlukan perubahan pola pikir pengguna aplikasi yang didukung oleh adanya pelatihan penggunaan aplikasi kepada para penggunanya (Pilar ketiga). Pada international best practice, manajemen perubahan (change management) ini dapat berupa suatu bagian/departemen tersendiri didalam suatu instansi. Mereka berfungsi sebagai penggerak/motor utama perubahan ketika bagian/departemen lain fokus untuk menggerjakan tugas pokok dan fungsi utama dari instansi.
Pada Kemenkeu RI, manajemen perubahan ini dilaksanakan oleh Central Transformation Office (CTO) yang memiliki Program Transformasi Kelembagaan dan telah melaksanakan beberapa kegiatan diantaranya: 1) Roadshow Transformasi Kelembagaan; 2) Penetapan Duta Transformasi Kelembagaan; 3) Penyampaian BERAKSI; 4) Open Forum Internal; 5) Open Forum Stakeholder; dan 6) Bincang Transformasi serta Optimalisasi Media Sosial.
Implementasi IFMIS pada Best Practice Pemerintah Daerah
Sampai pada tahun 2017, Pemda dengan tingkat pencapaian implementasi pondasi dan proses bisnis IFMIS terbaik di Indonesia adalah Pemprov DKI Jakarta. Pemprov DKI melalui Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) menggunakan sistem aplikasi SIPKD yang dikembangkan sendiri menggunakan anggaran pada APBDnya. Jadi meskipun namanya sama, tetapi SIPKD ini berbeda dengan SIPKD pada Kemendagri.Tiga Kunci Sukses
Pada awal kebijakannya, Pemprov DKI menetapkan 3 (tiga) aspek kunci sukses peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan aset melalui pengembangan sistem informasi keuangan terintegrasi, yaitu:1. Regulasi & Kebijakan
Dimulai dengan penyiapan regulasi pengelolaan keuangan yang akuntabel dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur tentang Entitas Akuntansi, beberapa Instruksi Gubernur seperti: 1) Percepatan Peningkatan Akuntabilitas Barang Milik Daerah; 2) Penyusutan aset tetap; dan 3) Uang persediaan, dan Instruksi Sekda tentang Amortisasi aset tidak berwujud. Kesemuanya disusun dengan awal Instruksi Gubernur tentang Grand Desain Implementasi Akuntansi Berbasis Akrual Prov DKI Jakarta.2. Peningkatan Kapasitas SDM
Dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pembangunan klinik akuntansi; 2) Pembangunan web www.akuntansidki.com; 3) Bimtek bendaharawan dan penerapan akuntansi basis akrual; dan 4) Melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) tentang hal terkait.Dikarenakan peningkatan kapasitas SDM ini dilakukan pada ruang lingkup yang besar, yang terdiri dari 746 UKPD, 276 Kelurahan, 86 BLUD & 2.147 sekolah di DKI Jakarta, BPKD membuat grup-grup kecil yang diajarkan akuntansi & pengelolaan keuangan. Lalu masing-masing grup tadi kembali mengajarkannya lagi pada level-level dibawahnya hingga pada setiap level terkecilnya.
3. Sistem Informasi Terintegrasi
Dengan diterapkannya berbagai aplikasi elektronik (Serba e-) yang terhubung pada SIKPD berbasis akrual DKI Jakarta dalam kesatuan Aplikasi Rekonsiliasi, Trend dan Analytical Procedure pada akun: 1) Pajak; 2) Retribusi; 3) Piutang; 4) Kas daerah; 5) Kas di bendahara; 6) Aset tetap dan persediaan; 7) Belanja gaji dan tunjangan; 8) Tunjangan kinerja; 8) Penerimaan fasos fasum; 9) Kontrol anggaran; dan 10) Pengadaan barang dan jasa.Melalui laporan sistem informasi yang terintegrasi diatas, akan menghasilkan Laporan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Harian. Jadi, posisi kas, pendapatan, belanja daerah dan aset dapat diketahui secara Real Time. Hal ini seperti yang selama ini telah dilakukan pada dunia perbankan, karena sama-sama menggunakan neraca basis akrual.
Tiga Milestone
Pada tahap implementasinya, ditetapkan target yang terbagi menjadi dalam 3 Milestone, yaitu:1) Tujuan Jangka Pendek:
- Pembangunan komitmen (*)
- Penyiapan regulasi (*)
- Penguatan SDM (*)
- Implementasi e-Komponen (*)
- Implementasi e-Budgeting (*)
- Implementasi e-UP/GU/TU (*)
- Implementasi Non Tunai (*)
- Pelaksanaan Sensus Aset (*)
- Implementasi e-Aset (*)
- Implementasi e-Retribusi (*)
- Implementasi e-BKU (*)
- Implementasi e-Pajak (*)
- Implementasi e-Samsat (*)
- Implementasi e-Bansos Hibah (*)
- Implementasi e-Inventory
- Implementasi SIPKD basis akrual (*)
- Implementasi PAD lainnya
- Implementasi Dashboard Keuangan (*)
- Penyempurnaan Kebijakan Keuangan (*)
- Penguatan SDM (*)
- Implementasi Penyusutan Aset (*)
- Implementasi Amortisasi (*)
- Seluruh sistem informasi terintegrasi
- Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Real Time dan Andal
- Pengamanan dan Optimalisasi Aset Meningkat
- Keterbukaan Informasi Publik secara On Line dan Real Time
- Peran serta masyarakat mengawasi APBD meningkat
- Bebas korupsi
- Warga Jakarta sejahtera
Melalui Milestone tersebut diharapkan terwujud akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan dan aset dan secara sistemik akan: 1) Meningkatkan opini BPK menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); 2) Temuan pemeriksaan menurun; dan 3) Serapan anggaran lebih optimal.
Ada hal unik pada implementasi Milestone ini, yaitu dari awal penerapan SAP basis akrual, Gubernur DKI tidak langsung membebankan opini kepada BKPD, tapi meminta BPKD fokus pada tujuan agar posisi kas, pendapatan, belanja daerah dan aset diketahui secara real time. Sehingga tiap tahun BPKD bisa fokus pada penyempurnaan model IFMIS-nya.
Jadi, Gubernur DKI tidak mempermasalahkan saat LHP LKPD Pemprov DKI TA 2015 adalah WDP dengan pengecualian pada asetnya, tapi akan menjadi sensitif jika tidak ada perkembangan signifikan pada Milestone IFMIS-nya. Sedangkan opini WTP DKI baru ditargetkan pada tahun 2020.
Gambaran Proses Bisnis Pengelolaan Keuangan Daerah pada DKI Jakarta
Pada tahap Perencanaan/Penganggaran, implementasi e-budgeting sudah bottom-up (pada umumnya adalah top-down). E-Budgeting ini menjadikan Komponen sebagai dasar penyusunan pagu anggaran pada tingkat atasnya. Hal ini dapat terlaksana dengan dukungan aplikasi e-komponen.E-komponen sudah menggunakan kode barang dan kode rekening sesuai Bagan Akun Standar (BAS) Permendagri Nomor 64 Tahun 2013. Sehingga maping akrual (karena terdapat perbedaan kode rekening kas dan kode rekening akrual) sudah terjadi sejak proses perencanaan. Ini diperlukan agar informasi keuangan pada proses pelaksanaannya bisa Real Time.
Pada tahap Pelaksanaannya, diterapkan transaksi non-cash, yaitu pada proses bisnis transaksi pendapatan dan belanja.
Pada transaksi Pendapatan, Pemprov DKI bekerja sama dengan 13 Bank dan 1 Non Bank. Pendapatan dimaksud berupa pembayaran/pemotongan langsung atas pajak dan retribusi daerah.
Contoh inovasi non cash pada penerimaan retribusi adalah dengan menerbitkan Kartu Jakarta One & Jakcard untuk akses wisata & beli cinderamata di beberapa obyek di Jakarta. Fungsi utamanya berupa: 1) Identifikasi profil pengguna; 2) Penyaluran Kebijakan Layanan Publik; dan 3) Pendukung Sistem Pembayaran.
Meskipun cashflow penerimaannya relatif kecil, tapi dianggap lebih praktis bagi Pemda & bagi pemilik kartunya. Adanya kartu itu juga mengamati perilaku masyarakat yang saat ini sudah banyak beralih ke uang plastik.
Pada transaksi Belanja, contoh inovasi non cash dilaksanakan dengan optimalisasi Uang Persediaan (UP) melalui mekanisme Revolving Fund. Penerapan uang persediaan (UP) lebih ketat, karena melalui transfer perbankan, sehingga mudah ditelusuri penggunaannya melalui Cash Management System (CMS).
Sejak pertama kali diimplementasikan UP Non Cash ini tidak bisa serta merta full non cash, tapi melalui beberapa tahap nominal tertentu, yaitu dimulai sejak terbitnya Ingub Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Transaksi Online (Transaksi Non Cash). Tahapannya sebagai berikut:
- Komitmen;
- Penggunakan Uang Tunai Maksimal Rp 100 Juta;
- Penggunakan Uang Tunai Maksimal Rp 25 Juta;
- Penggunakan Uang Tunai Maksimal Rp 2,5 Juta; dan
- Transaksi Non Tunai (Penuh).
Agar transaksi non-cash dapat diterapkan pada transaksi penerimaan pajak sekaligus transaksi belanja pada hotel, rumah makan, Pertamina dll secara mudah, BPKD menawarkan kepada Bank yang bersedia membuatkan sistemnya, maka BPKD akan membuat kontrak kepada bank tersebut, sehingga pada setiap transaksi pada hotel dll itu akan diketahui oleh pihak bank dan diteruskan kepada BPKD DKI.
Hal ini turut mendukung informasi real time pada Pendapatan dan Belanja APBD DKI. Sebagai contoh sistem pajak berupa Online Payment System dikembangkan oleh BRI, jadi BRI tahu seluruh transaksi hotel, restaurant, Pertamina dll dan meneruskannya pada Dinas Pendapatan DKI, jadi transaksi itu bisa langsung dipotong pajaknya.
Pada tahap pelaporannya, Kepala Bidang Akuntansi BKPD menyatakan bidangnya merasa sangat terbantu dengan kehadiran seluruh penerapan model IFMIS diatas. Permasalahan umum yang timbul oleh sebab kesalahan pada tahap pelaksanaan yang menghambat dalam penyusunan Laporan Operasional dan Neraca, dapat banyak mengurangi pekerjaan dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).
Keuntungan Penerapan Transaksi Non Cash
Dalam sebuah FGD yang diadakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri, narasumber Syaefulloh Hidayat, selaku Kepala Bidang Akuntansi BPKD Pemprov DKI Jakarta menyampaikan bahwa melalui penerapan transaksi non-cash ini, Pemprov DKI Jakarta menjadi lebih efisiensi, terlihat dari belanja Pertamina, hotel, makanan dll yang menurun, kecuali biaya listrik yang tentu masih turun naik.Keuntungan lainnya adalah Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas Belanja daerah menjadi mudah dikarenakan memang sudah akuntabel by system. Sehingga pada setiap akhir tahun, tanggal 31 Desember, transaksi keuangan pada Bidang Perbendaharaan selesai tanpa perlu lembur yang menjadi fenomena umum setiap instansi Pemerintah. Apalagi faktanya di DKI Jakarta terdapat sekitar 2.600 transaksi tiap harinya.
Contoh lain, seperti yang dirasakan oleh masyarakat adalah jika sebelumnya pengadaan Pasukan kebersihan di DKI Jakarta yang berjumlah 90.000 orang melalui pihak ketiga dan setiap orang hanya menerima pendapatan bersih sekitar Rp 700 ribu/bulan, yaitu setelah melalui pemotongan oleh pihak ketiganya, maka sejak penerapan non cash, pasukan kebersihan dijadikan Pegawai Harian Lepas (PHL) langsung oleh Dinas Kebersihan DKI. Sejak saat itu setiap dari mereka bisa menerima sekitar Rp 3,5 juta/bulan dengan metode transfer langsung ke rekening tabungan mereka.
Terakhir, informasi real time posisi keuangan dan aset Daerah yang berasal dari Big Data SIPKD diintegrasi dengan aplikasi Jakarta Smartcity. Jadi informasi real time tersebut dapat diakses oleh manajemen internal, stakeholders, dan masyarakat umum melalui aplikasi Jakarta Smartcity.
Kesimpulan dan Saran
Transformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah yang relatif cepat memaksa setiap instansi untuk berpacu dengan waktu untuk menyempurnakan pondasi dan proses bisnis model IFMIS-nya.Meskipun setiap Daerah pasti memiliki letak permasalahannya sendiri, tapi implementasi model IFMIS ini bukan hal yang sulit untuk ditempuh jika dilakukan usaha serius seperti: 1) Komitmen nyata dalam bentuk Peraturan/Instruksi Kepala Daerah; 2) Giat dalam melakukan kajian internal seputar pengelolaan keuangan daerah; dan 3) Mengikuti referensi dari best practice pada instansi lain.
Sebagaimana pada setiap aplikasi sistem pendukung pada SIPKD DKI Jakarta yang penulis sampaikan diatas, seperti e-komponen, e-UP/GU/TU dll, membutuhkan masing-masing kajian teknis sistemnya yang dikerjakan oleh para ahlinya. Hal ini bisa dilakukan oleh tim yang bertugas sebagai Change Management dan/atau mengontrak konsultan seperti yang dilakukan oleh Kemenkeu dan DKI Jakarta pada aplikasinya.
Pemprov DKI Jakarta juga membuka diri bagi Pemda lain yang ingin magang dan mempelajari lebih lanjut implementasi transaksi non tunainya. Sebagaimana surat Dirjen Bina Keuangan Daerah kepada Gubernur DKI Jakarta Nomor 080/1584/Keuda Tanggal 26 April 2017 tentang Permintaan Fasilitasi Magang Dalam Rangka Implementasi Transaksi Non Tunai pada Provinsi DKI Jakarta, sebanyak 70 Pemda tercatat berminat untuk mengajukan magang.
Jika suatu hari kelak model IFMIS pada Pempus dan Pemda sudah memenuhi kriteria minimalnya, maka bukan tidak mungkin informasi laporan keuangan dan aset pada seluruh instansi Pemerintah di Indonesia dapat diintegrasikan untuk menghasilkan Laporan Keuangan Republik Indonesia (LKRI) sesuai international best practice dari Treasury Reference Model.
Dedikasi pada kolaborasi dan inovasi langsung dari tiap lini pengelola keuangan daerah mendukung komitmen Pemerintah Daerah untuk mensukseskan model IFMIS-nya. Berbagai cara mudah hingga cara yang lebih kompleks dalam mendayagunakan SDM penatausahaan keuangan dan dukungan teknologi dapat kita lakukan untuk membuat Pengelolaan Keuangan Daerah lebih profesional dan akuntabel.
***
(*) Penulis adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Bidang Akuntansi BPKAD Kota Bekasi, penulis beberapa buku dan novel. "Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan bagi anak bangsa". (Sumber Artikel)
Great and I have a swell provide: Who Does House Renovation house renovation ideas interior
BalasHapus